FPS2B

Forum Pengkajia Sejarah Sosial dan Budaya

Pangeran Bupati Panembahan Hamim Dalam Catatan Sejarah (1779 – 1879 M.)

Pendahuluan

Sejarah Ringkas Pangeran Bupati Panembahan Hamim, sangatlah perlu untuk ditampilkan mengingat tidak banyak muncul tokoh-tokoph dari kota Palembang, Perjalanan Sejarah kota ini cukuplah panjang, setidaknya tercatat ada dua buah kerajaan besar yaitu Kedatuan Sriwijaya dan Kesultanan Palembang Darussalam (KPD).
Pangeran Bupati Panembahan Hamim adalah seorang perwira perang yang handal sehingga Sultan tidak ragu-ragu memberikan kepercayaan kepadanya hal ini terbukti pada saat pergantian pimpinan beliau tetap dipercaya untuk memimpin Benteng Martopuro yang merupakan Benteng komando. Dilahirkan di Palembang pada hari Sabtu jam 08.00 WIB, tanggal 25 Januari 1779 M /17 Syawal 1192 H. Wafat pada tahu 1879 dalam usia 100 tahun. dikuburkan di Pemakaman Tanah Tinggi Talang Semut 29 Ilir ( Sekarang dikenal dengan Jln Joko).
Semasa hidupnya telah terjadi 5kali pergantian sultan di KPD, dan wafat pada masa Keresidenan Palembang. Adapun Sultan-sultan yang dimaksud adalah Sulatn Muhammad Bahauddin (1776-1803), Raden Muhammad Hasan atau Sultan Mahmud Badaruddin II (1803-1821),Raden Muhammad Husin Dhiauddin Pangeran Adipati atau Sultan Ahmad Najamuddin II ( (1813-1817), Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu (1819-1821), Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom (1821-1823), Pangeran Kramo Jayo (1823-1825), dan masa Keresidenan Palembang (15 0ktober 1825).
Menulusuri Sejarah Kota Palembang, adalah sebuah perjalanan panjang. Setidaknya kita akan terlibat dalam pembahasan dua kerajaan yang pernah ada di wilayah nusantara ini yaitu KEDATUAN SRIWIJAYA dan KESULTANAN PALEMBANG DARUSSALAM. Untuk itulah penulis mencoba untuk mendeskripsikan Kesultanan Palembang Darussalam (KPD) saja, sebagai batasan agar pembahasan tidak terlalu lebar. Terkhusus perjalanan sejarah Pangeran Bupati Panembahan Hamim yang lahir pada masa Sultan Muhammad Bahauddin hingga wafat pada saat Kesultanan Palembang Darussalam dihapuskan oleh Belanda.
Sebagai Kerajaan Maritim, Kesultanan Palembang Darussalam perlu memiliki sistem pertahanan yang khusus. Sistem pertahanan yang dibangun hendakknya dengan pertimbangan yang seksama. Untuk keperluan itu maka semua jalur lalu lintas sungai harus dikuasai, dan disepanjang sungai Musi harus dibuat benteng-benteng pertahanan.
Benteng yang dibangun sepanjang sungai Musi itu dimulai dari Sungsang. Dilanjutkan ke Muara Rawas disebelah utara. Diteruskan ke sebelah Selatan samapai dihulu sungai Ogan dan sungai Komering. Adapun Benteng-benteng tersebut terletak di Muaro Sungsang, Selat Borang, Pulau Anyar, Muaro Plaju, Pulau Kemaro, Martapuro, Kuto Besak, Kuto lamo, Dusun Bailangu, Ujung Tanjung, dan Dusun Muncak Kabau.
Setelah terjadinya Perang Menteng pada tahun 1819 yang berakhir dengan kemenangan di pihak Kesultanan Palembang, membuat Belanda mempunyai perhitungan tersendiri atas Kesultanan Palembang. Hal yang sama dilakukan pula oleh Sultan, sehingga beliau melakukan beberapa kebijakan dalam berbagai bidang. Pada tahun 1819-1821 banyak benteng lama yang diperkuat dan benteng baru didirikan(Safwan,2004:74).
Disamping itu perlu mempersiapkan faktor-faktor pertahanan lainnya. Perahu-perahu yang dipersenjatai juga dipersiapkan oleh Sultan. Tentara (lasykar) terus dipersiapkan, Lasykar umumnya diambil dari orang-orang Miji dan Orang Senan. Sesudah persiapan mencukupi, maka Sultan menyelesaikan masalah lain, antara lain dengan menunjuk orang-orang kepercayaannya untuk menjadi panglima perang di medan perang antara lain Pangeran Kramadiraja, Pangeran Wirasentika, Pangeran Kramajaya (Menantu Susuhunan Mahmud Badaruddin II), Pangeran Suradilaga, Pangeran Kramadilaga, dan Pangeran Bupati Panembahan Hamim beliau adalah saudara kandung dari Sultan Mahmud Badaruddin II Pahlawan Nasional dari Palembang (Sumatera Selatan).
Menjalin hubungan baik dengan berbagai pihak, diantaranya dengan Pangerang Ratu dari Jambi serta beberapa pimpinan etnis yang ada di Palembang Bugis, Arab, dan Cina. Pangerang Ratu dari Jambi sengaja datang ke Palembang untuk memberikan semangat kepada Sultan. Pangeran Ratu juga memberikan bantuan membuat benteng baru. Benteng baru itu terletak disebelah kiri Benteng Manguntama. Benteng ini dipimpin oleh Pangeran Wirasantika.

Asal-Usul Pangeran Bupati Panembahan Hamim.
Pangeran Bupati Panembahan Hamim Bin Sultan Muhammad Bahauddin lahir di Palembang pada hari Sabtu jam 08.00 WIB, tanggal 25 Januari 1779 M atau bersamaan dengan 17 Syawal 1192 H. Beliau dilahirkan tiga tahun setelah Ayahnya (Sultan Muhammad bahauddin) menjadi sultan ke-6 di Kesultanan Palembang Darussalam (1776 M). Sejak kecil beliau telah diajari ilmu beladiri dan di didik tentang ajaran agama Islam sehingga beliau betul-betul memahami dan menghayati hukum-hukum Islam.
Dalam kehidupan sehari-hari Beliau tumbuh seperti remaja-remaja lainnya, hingga dewasa, ketika beliaua telah cukup umur dan mampu maka beliauapun menikah. Sebagai seorang suami yang baik dan ayah yang bijaksana. Beliau selalu memperhatikan keluarganya. Pangeran selalu menyediakan waktu khusus untuk keluarga terutama masalah pendidikan agama anak-anaknya terus dibina oleh Pangeran Bupati.
Dalam bidang militer Pangeran bersama saudara-saudaranya yang lainnya diajarkan juga Strategi Berperang serta pengetahuan militer yang cukup. Beliau dikenal ahli dalam melakukan perang di lautan (sungai) terbuka. Hal ini beliau buktikan ketika ia memegang kendali Benteng Martopuro yang dikenal sebagai Benteng Komando Kesultanan Palembang Darussalam.
Sepanjang hayat hidupnya telah terjadi 5 kali pergantian sultan di Kesultanan Palembang Darussalam, dan wafat pada Pemerintahan Keresidenan Palembang dihapuskan oleh pemerintah Belanda. Adapun Sultan-sultan yang dimaksud adalah sebagai berikut: Sulatn Muhammad Bahauddin (1776-1803), Sultan Mahmud Badaruddin II atau Raden Muhammad Hasan ( (1803-1821), Sultan Ahmad Najamuddin II atau Raden Muhammad Husin Dhiauddin Pangeran Adipati( (1813-1817), Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu (1819-1821), Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom (1821-1823).
Kemudian secara juridis dan politis bahwa Kesultanan Palembang Darussalam dihapuskan dan secara administratif dijadikan bagian dari pemerintahan kolonial terhitung sejak 7 oktober 1823. Pangeran Kramo Jayo (1823-1825) Pedana Menteri pada masa Prabu anom tetap diberikan kekuasaan sebagai symbol pemerintahan dan meredakan amarah rakyat yang masih setia dengan Kesultanan., Barulah pada tanggal 15 0ktober 1825 Keresidenan Palembang dijabat oleh Residen pertama asal Belanda.
Berdasarkan catatan silsilah yang ada pada Sultan Mahmud Badaruddin III Prabudiradja (Raden Muhammad Syafe’i Prabu diradja) bahwa Sultan Muhammad Bahauddin yang menikah dengan Ratu Agung mempunyai anak (keturunan) sebanyak 9 orang”, diantaranya adalah Pangerang Bupati Panembahan Hamim.

SULTAN MUHAMMAD BAHAUDDIN + RATU AGUNG :
1. RADEN NAYU PURBA NEGARA BALKIAH.
2. RADEN NANYU MANGKU NEGARA HAMIDAH.
3. RADEN NAYU WIKRAMA HASYIAH.
4. RADEN HASAN PANGERAN RATU / SULTAN SUSUHUNAN RATU MAHMUD BADARUDDIN (SMB II).
5. SULTAN SUSUHUNAN HUSIN DHIAUDDIN (SULTAN MUDO).
6. RADEN NAYU SUTA WIKRAMA BARRIAH.
7. RADEN MUHAMMAD HANAFIAH.
8. PANGERAN BUPATI PANEMBAHAN HAMIM.
9. PANGERAN ADIPATI ABDULRACHMAN.
Namun dari data lain yang penulis dapatkan dari Zuriat Pangeran Bupati Panembahan Hamim (Raden Abdul Qodir Bin Abdul Rachman dan Raden Nawawi Bin R.H. Syahabuddin) bahwa Zuriat Sultan Muhammad Bahauddin adalah sebagai berikut;

SULTAN MUHAMMAD BAHAUDDIN + RATU AGUNG :

1. Raden Ayu Purba Negara Nakiah
Lahir malam isnen jam 3. (8 Syafar 1175 H. atau 25 november 1761 M.)
2. Raden Ayu Mangkunegara Hamidah
Lahir Malam Jumat, Jam 1.25. (3 Rejeb 1177 H atau 26 Maret 1764 M.)
3. Raden Ayu Natawikromo Aisyah.
Lahir Malam Sabtu Jam 10. (28 Muharam 1180 H atau 22 November 1766 M.)
4. Raden Hasan Pangeran Ratu Sultan Mahmud Badaruddin. (SMB II)
Lahir Malam Ahad, Jam 9. (1 Rejeb 1181 H atau 9 Februari 1768 M.)
5. Raden Husin Dhiauddin Suhunan Husin Diauddin. (Sultan Mudo)
Lahir Hari Sabtu Jam 4. (3 Ramadhan 1183 H atau 19 Maret 1770 M.)
6. Raden Ayu Wikromo Bariah.
Lahir Malam Jumat, Jam 3. (27 Muharram 1186 atau 18 Juli 1772 M.)
7. Pangeran Jayakromo.
Lahir Hari & jam serta tanggal & bulan tidak tercatat (1188 H. atau 1774 M.)
8. Pangeran Natawikromo.
Lahir hari & jam serta tanggal & bulan tidak tercatat (1189 H. atau 1775 M.)
9. Raden Muhammad Hanafiah.
Lahir Sabtu Jam 2. (11 Zulqaidah 1990 H atau 10 Maret 1777 M.)
10. Pangeran Bupati Panembahan Hamim.
Lahir Sabtu Jam 8. (17 Syawal 1192 H atau 25 Januari 1779 M.)
11. Pangeran Adipati Abdur Rahman.
Lahir Hari Senin Jam 6. (15 Rabiul Akhir 1195 H atau 27 Juni 1781 M.)
12. Pangeran Penghulu Natagama Fa’ruddin.
Lahir Hari & jam serta tanggal & bulan tidak tercatat (1197 H atau 1783 M.)
13. Raden Ibrahim.
Lahir Jumat Jam 2. tgl & bln tdk tercatat (4 Syafar 1213 H / 15 Oktober 1797 M.)

Peranan Pangeran Bupati Panembahan Hamim
Pada saat pengangkatan Raja di Kesultanan Palembanag Darussalam Pangeran Bupati Panembahan Hamim ikut terlibat dalam pengukuhan Sultan Mahmud badaruddin II untuk menggantikan Ayahnya yang juga sebagai Raja di Kesultanan Palembang Darussalam, peristiwa ini terjadi 5 jam setelah wafatnya Sultan Muhammad Bahauddin yang meninggal pada pukul 10.00 WIB pada hari Isnen (Senin) 22 Zulhijjah 1218 H (1803 M). Berdasarkan catatan Sultan Mahmud Badaruddin III Prabu Dirdja (2006) tercatat beberapa tokoh yang ikut terlibat dalam pengukuhan Sultan Mahmud Badaruddin II :
1. Pangeran Adi Menggalo Husin Diauddin (Sultan Ahmad Najamuddin Husin Diauddin)
2. Pangeran Bupati Panembahan Hamim (Pangeran Adi Kesumo)
3. Pangeran Adipati Abdurrachman (Pangeran Nata Kesumo)
4. Pangeran Nata Derajah (Pangeran Wiro Deratjah)
5. Pangeran Penghulu Abusama (Pangeran Perdana Menteri)
6. Pangeran Dipa (Pangeran surya Kesuma)
7. Panembahan Tua (Pangeran Arya)
8. Para “Priyai, Menteri, dan Kepala Dusun”. (Tidak terdata dengan jelas)
Semasa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II (SMB II) Pangeran Bupati Panembahan Hamim dipercaya untuk membantu Pangeran Ratu memimpin komando pada Benteng Martopuro. Pangerang Ratu setelah menjadi raja memakai gelar Sultan Ahmad Najamuddin (III), beliau merupakan putra tertua Sultan Mahmud Badaruddin II. Pangeran Kramojayo (Menantu Sultan) diangkat sebagai Panglima Perang kerajaan.
Kemudian Sultan Mahmud Badaruddin II juga mengangkat pimpinan perang lainnya yang ditempatkan pada setiap benteng. Adapun tugas pokok yang diberikan adalah memimpin pertempuran dengan Belanda di daerah pertahanan masing-masing. Hal ini tercatat dalam Kronik Palembang (Cod. Or 2276c tersimpan di Leiden) ditulis dengan huruf Arab-Melayu antara tahun 1720-1825 (Hanafiah, 1989: 93). Dalam Kronik tersebut tercatatan bahwa Sultan melakukan berbagai kebijakan yang dipersiapkan untuk menghadapi serangan balasan dari pemerintah Belanda.
Dari bidang Pemerintahan diadakan perombakan-perombakan atas beberapa pimpinan di Kesultanan dan pimpinan pasukan perang. Perombakan pimpinan pasukan yang dimaksud adalah sebagai berikut : Benteng Tambakbaya (Plaju) diserah terimakan dari Pangeran Kramadiraja, karena sakit, kepada Kramajaya (Menantu Susuhunan Mahmud Badaruddin II). Benteng Pulau Kembaro, dialihkan dari Pangeran Suradilaga kepada Pangeran Kramadilaga. Benteng Manguntama (Benteng tambanhan yang terletak kearah hilir yang terletak di Pulau Kembaro) tetap dipimpin oleh Pangeran Wirasentika. Benteng paling ujung Pulau kembaro, terletak mengapung di sungai Musi, dipimpin oleh Pangeran Ratu dari Jambi. Benteng Martapuro, tetap sebagai benteng komando, tempat Sultan Ahmad Najamuddin III (Pangeran Ratu) dan dibantu oleh Pangeran Bupati Panembahan Hamim (saudara kandung Sultan Mahmud Badarudin II). Letak benteng ini hampir bersebelahan dengan Benteng Tambakbaya. Bila diperkirakan pada saat ini Benteng Martopuro ini terletak di daerah Bagus Kuning 16 Ulu. Yang dahulunya disebut sebagai daerah Rawa-rawa Sekampung. Dinding benteng ini dibangun dengan model yang sama dengan benteng tambak baya. Posisi Benteng Martopuro mengahadap ke sungai Musi, dan sedikitnya dipersenjatai 50 meriam dengan berbagai ukuran. Di Benteng inilah para panglima dan pimpinan perang membahas tentang taktik dan strategi perang yang dipimpin langsung oleh Sultan. Itulah sebabnya Benteng Martopuro dikenal dangan nama lain yaitu “Benteng Komando”.
Dari bidang Pertahanan dan keamanan, Sultan mengadakan persiapan dibidang militer. Benteng-benteng pertahahnan makin diperkuat. Peluru meriam dibuat secara besar-besaran dengan mendatangkan bantuan bahan peledak. Bantuan datang dari kerajaan Lingga di Riau dan Kerajaan Sambas di Kalimantan Barat (Safwan,2004:74). Pertahanan yang terbuat dari rakit, dan terapung, terletak di balik pagar/cerucup ditempati dan dipimpin oleh Cik Nauk, kepala suku Bugis dari Lingga. Setiap Benteng dibantu sepenuhnya oleh kepala-kepala masyarakat dari pedalaman bersama rakyatnya. Juga tidak ketinggalan keturunan Arab dan Cina yang menetap di Palembang.
Dari bidang Ekonomi Sultan berusaha menstabilkan harga pasar terutama harga beras yang pada saat itu dipertahankan untuk tetap murah kecuali harga garam karena garam didatangkan dari pulau Madura (Hanafiah, 1989:93).
Selain itu Sultan juga Menjalin hubungan baik dengan berbagai pihak, diantaranya dengan Pangerang Ratu dari Jambi serta beberapa pimpinan etnis yang ada di Palembang Bugis, Arab, dan Cina. Pangerang Ratu dari Jambi sengaja
datang ke Palembang untuk memberikan semangat kepada Sultan. Pangeran Ratu juga memberikan bantuan membuat benteng baru. Benteng baru itu terletak disebelah kiri Benteng Manguntama. Benteng ini dipimpin oleh Pangeran Wirasantika.
Pangeran Bupati Panembahan Hamim adalah seorang perwira perang yang handal sehingga Sultan tidak ragu-ragu memberikan kepercayaan kepadanya hal ini terbukti pada saat pergantian pimpinan Pangeran Bupati Panembahan Hamim tetap dipercaya untuk memimpin Benteng Martopuro yang merupakan Benteng komando. Kepercayaan yang diberikan dijalankan sesuai dengan penuh tanggung awab, bahkan ketika Mayjen Markus de kock mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menggempur pertahanan Kesultanan Palembang serangan de kock ini pun belum berhasil.
Untuk dapat menembus pertahanan Kesultanan Palembang Darussalam akhirnya Mayjen Markus de Kock membuat kesepakatan dengan Sultan yaitu dengan melakukan gencatan senjata pada hari suci agama Islam (hari Jum’at) dan Nasrani (hari Minggu), sebagai bentuk penghormatan terhadap keyakinan agama masing-masing pihak. Pada tanggal 22 Juni 1821 yang jatuh pada hari Jum’at, Belanda tidak melakukan serangan karena menghormati umat Islam.
Hal yang sama juga dilakukan juga oleh Sultan Mahmud Badaruddin II tepatnya pada hari minggu 24 Juni 1821, Sultan memerintahkan untuk tidak melakukan persiapan yang penuh untuk melakukan perang pada hari minggu. Rupanya siasat Belanda kali ini mengena, De kock dengan licik tetap memberikan perintah kepada pasukannya untuk melakukan serangan.
Serangan dimulai dengan mengirimkan pasukan pengintai pada pukul 4 dinihari dan bertugas melepaskan cerucuk-cerucuk yang merintangi jalur sungai Musi agar kapal-kapal Belanda dengan muda dapat menembus perairan kesultanan Palembang, selain itu melakukan penyusupan ke Benteng-benteng sehingga kekuatan pasukan Kesultanan Palembang menjadi semakin lemah.
Tepat pada pukul 6 pagi Kapal-kapal perang belanda mulai menembaki semua benteng-benteng pertahanan Kesultanan Palembang Sehingga satu persatu dapat ditaklukan. Sehingga pada pukul 7 Benteng Pulau Kemaro telah dapat dikuasai, dan merebut ke benteng-benteng yang lainnya. Kapal perang Belanda terus maju menuju benteng martopuro. Pangeran Bupati Panembahan Hamim tetap melakukan perlawanan dengan gigih. Hal ini terbukti Belanda baru berhasil menaklukan Benteng Martopuro pada pukul 13.00 WIB.
Dengan didudukinya Benteng Martopuro seluruh pertahanan Sultan diperairan Sungai Musi lumpuh. Kapal perang Belanda menuju kemuara Sungai Ogan untuk menghalalngi Sultan mundur kepedalaman. Setelah itu Belanda mulai menyerang keraton Kuto Besak. Serangan ini merupakan serangan terbesar yang pernah dilakukan Belanda terhadap Kesultanan Palembang. (Safwan,2004:78).
Mayjen Markus de Kock memberikan ultimatum terhadap sultan agar segera menyerah. Sultan menyampaikan protes atas serangan Belanda yang melanggar gencatan senjata. Kemudian Sultan mengajukan usul akan menyerahkan kekuasaannya kepada Belanda asal tetap diberikan izin untuk tetap tinggal di Palembang, Usul Sultan ditolak oleh de kock dan pada tanggal 1 Juli 1821 Sultan Mahmud Badaruddin II ditangkap dan dibawa dengan kapal ke Batavia bersama beberapa kerabat kesultanan. Pada bulan maret 1822 Sultan diasingkan ke ternate (Maluku) hingga akhir hayatnya.
Sedangkan Pangeran Bupati Panembahan Hamim tidak di buang ke Batavia (Betawi) melainkan ditahan dan dikurung di dalam kapal perang selama 7 bulan, Setelah itu barulah Pangeran Bupati Panembahan Hamim dilepaskan dan dapat berkumpul dengan keluarganya di kampung Sekanak. Setelah kondisi Kesultanan Palembang Darussalam cukup kondusif Pangeran Bupati Panembahan Hamim mencoba untuk meneruskan pemerintahan Kesultanan Palembang yang merupakan gerakan perlawanan terhadap pemerintah Belanda atau gerakan bawah tanah (Penulis), hal ini dapat dilihat dari stempel yang ada pada zuriat Pangeran Bupati panembahan Hamim yang dibuat pada tahun 1237 H atau tahun 1824 M Pada stempel ini tertulis Alamat Pangeran Panembahan ibnu Sultan Ratu Mahmud bahauddin balad (kota) Palembang Darussalam Sanah (tahun) 1237.
Pangeran Bupati terus mencoba untuk menyusun kekuatan baru dengan melakukan latihan taktik perang setiap hari jum’at (Setelah Sholat Jum;at). Adapun lokasi yang dijadikan tempat latihan adalah di tanah Pematang Tudin (Pebem). Berdasarkan cerita tutur diperkirakan sekitar 80 orang yang dilatih khusus untuk dipersipakan menjadi pemimpin-pemimpin perang yang baru. Namun Allah berkehendak lain sebelum latihan ini dapat dirampungkan oleh Pangeran Bupati beliau telah dipanggail oleh yang maha kuasa dalam usia 100 tahun. dikuburkan di Pemakaman Tanah Tinggi Talang Semut 29 Ilir ( Sekarang dikenal dengan Jln Joko).
Keberadaan Komplek Pemakaman Tanah Tinggi sampai saat ini belum ditetapkan oleh pemerintah menjadi situs Benda Cagar Budaya dan keberadan terus berkurang dan rusak oleh kepentingan sekelompok ataupun orang-orang tertentu. Menurut data yang ada pada zuriat bahwa kompleks makam ini mempunyai luas tanah + 40.000 m (4 hektar). Selain makam Pangeran Bupati Panembahan Hamim dan Istri, di komplek ini terdapat beberapa makam-makam lain Pangeran Suryo Alim, Pangeran Suryo Nandito, Pangeran Singo Yudo, Pangeran Gede Depati Wangsa atau Pangeran Silo Penawar.
Pada masa yang sama Pangeran Kramojaya (menantu Sultan Mahmud Badaruddin II) dari zuriat Raden Abubakar Pangeran Ratu Purbayo. juga menjalankan pemerintahan sebagai Pedana Menteri (1823-1825). Ketika Kesultanan Palembang Darussalam dihapuskan oleh pemerintahan Belanda Pangerang Kramojayo tetap menjadi pejabat dari golongan pribumi dengan jabatan sebagai Regent Rijksbestuurder hingga tahun 1851 dan kemudian jabatan inipun dihapuskan, setelah Pangeran Kramojayo ditangkap karena mengadakan perlawanan. Beliau diasingkan ke Purbolinggo dalam bulan Agustus 1851 dan wafat pada tanggal 5 Mei 1862 (Amin, 1986: 91).
Di masa awal kekuasaan Belanda di daerah Palembang telah dijadikan suatu daerah keresidenan yang dipimpin oleh seorang Residen dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh asisten residen dan beberapa pejabat Belanda lainnya. Jabatan yang masih disediakan untuk orang pribumi menurut Husni Rahim (1993) adalah sebagai berikut:
1. Rijksbestuuder (Pangeran Kramo jayo)
2. Ambstenaar bij den residen (Pangeran Tumenggung Astra menggala)
3. Hoofd de politie (Pangeran Tumenggung Kerta Menggala)
4. Asistent der politie (Demang Derpa Cito)
5. Hooge prister (pangeran Penghulu Nata Agama)
6. Hoofd der Arabieren (Pangeran Syarif Ali)
7. Kapiten der Chinezen (Tjoa Kilien)
8. Divisie hoofd van de Ogan (Demang Sur Nindita)
9. Divisie hoofd van de Komering Ilir (Demang Jaya Laksana)
10. Divisie hoofd van de Komering Ulu(Demang Wiro Teruno)
11. Divisie hoofd van de Rawas (Demang Laksana Jaya)
12. Divisie hoofd van de Lematang (Demang Astra Nidata)
13. Divisie hoofd van de Musi Ilir (Demang Raden Abdul Rahman)
14. Divisie hoofd van de Musi Ulu (Demang Kerangga Saca Manggala)
15. Divisie hoofd van de Musi Tengah (Demang Pangerang Kerama Dinata)
Berdasarkan data diatas, tampak bahwa Belanda masih menggunakan pejabat-pejabat pribumi untuk membantu pemerintahan di Keresidenan Palembang. Hal ini dimaksudkan untuk menenangkan rakyat agar tidak menentang pemerintah Belanda. Demikian juga dengan jabatan kepala polisi yang masih diserahkan kepada orang pribumi, tentu dengan maksud untuk memudahkan pengamanan masyarakat bila timbul gejolak dari rakyat. Begitu pula dengan pengangkatan kepala untuk orang Arab Hoofd de Arabieren) dan Kepala Orang Cina (Kapitein di chinezen) Hal yang sama terhadap Pangeran penghulu Nata Agama masih tetap dijadikan pejabat tertinggi agama Islam sebagaimana di masa kesultanan, walaupun dengan kadar wewenang yang terbatas.

Penutup
Diakhir hayatnya beliau meninggalkan 3 orang istri yakni 1) Nyayu Panembahan, 2) Mas Ayu Ratu, 3) Nyimas Tijah dan mempunyai 16 orang anak (10 laki-laki dan 6 perempuan). Wafat pada Tahun 1879. Menurut informasi dan catatan ahli waris dan zuriat Pangeran Bupati Panembahan Hamim, Keadaan tanah makam dari waktu ke waktu berkurang dan rusak bahkan belum tersentuh oleh berbagai lembaga dan instansi yang peduli untuk menjaga kelestariannya.
Ketika penulis berkunjung dan menemui para zuriat Pangeran Bupati Panembahan Hamim dikatakan bahwa makam ini telah diusulkan untuk dapat dijadikan Benda Cagar Budaya yang dilindungi oleh Undang-undang No 5 Tahun 1992 dan PP No.10 tahun1993, akan tetapi sampai saat ini belum dapat terealisasi dengan berbagai alasan.
Hal ini Sangatlah disayangkan bila tidak perhatikan dan ditindaklanjuti dengan segera. Dikhawatirkan akan terjadi kerusakan yang lebih parah dan semakin hancurnya asset budaya yang ada di kota tercinta ini. Sebagai penutup tulisan ini penulis ingin mengutip kalimat terakhir Syair Perang Menteng ;
“Tidak ketahuan lebih dan kurang, Melainkan ma’af diharap sekarang.
Karena Baharu (baru) belajar mengarang, Ampun diharap sekalian orang”.

PUSTAKA
Ari, Kemas. 2006. Menelusuri Jejak-jejak Sejarah Kesultanan Palembang Darussalam. PAlembang: Berita Pagi.
----------------------------. Jejak-jejak sejarah Pangerang Bupati Panembahan Hamim (1779-1879 M.) Palembang: Balai Arkeologi.
Amin, H.M. Ali. 1986.Sejarah Kesultanan Palembang Darussalam dan Beberapa Aspek Hukumnya. (dalam buku Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan Editor K.H.O Gadjahnata dan Sri Edi Swasono). Jakarta: UI-Press.
Hanafiah, Djohan. 1989. KUTO BESAK, Upaya Kesultanan Palembang Menegakkan Kemerdekaan. Jakarta: CV Haji Masagung.
Nawawi, R. Muhammad, Tanpa Tahun, Catatan Pribadi Tentan Silsilah Zuriat Pangeran Bupati Panembahan Hamim, Palembang: Tidak diterbitkan.
------------------------------, 1996, Catatan Pribadi Tentan Sejarah Ringkas Pangeran Bupati Panembahan Hamim, Palembang: Tidak diterbitkan.
Pemda Sumaterra Selatan.1986. Sejarah Perjuangan SULTAN MAHMUD BADARUDDIN II, Pahlawan Kemerdekaan Nasional, Palembang: Pemerintah Propinsi Daerah Tk. I Sumatera Selatan.
Prabu Diradja, R.M.Syafe’i, Tanpa Tahun, Catatan Pribadi Tentan Silsilah Zuriat Sultan Kesultanan Palembang Darussalam, Palembang: Tidak diterbitkan.
------------------------------, 2006, Selayang Pandang Kebangkitan Kesultanan Palembang Darussalam, termasuk peninggalan-peninggalannya., Palembang: Tidak diterbitkan.
Qodir, R. Abdul, Tanpa Tahun, Catatan Pribadi Tentan Silsilah Sultan Muhammad Bahauddin, Palembang: Tidak diterbitkan.
Rahim, Husni. 1993. Kesultanan Palembang menghadapi Belanda serta masuk dan berkembangnya Islam di daerah Palembang (dalam Junrnal Sejarah seri 3). Jakarta: MSI bekerja sama dengan PT. Gramedia Pustaka Utama.
Safwan, Mardanas. 2004. Seri Pahlawan SULTAN MAHMUD BADARUDDIN II (1767-1852) Riwayat Hidup dan Perjuangannya. Jakarta PT. Mutiara Sumber Widya.
Woelders, M.O. 1975. Het Sultanaat Palembang 1811-1825. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.

-------------------------------------------
*)
Oleh : Kemas Ari, S.Pd.
Dosen dan Guru Sejarah di : Fakultas Adab IAIN Raden Fatah dan M A N.1 Palembang
Palembang, 01 Ramadhan 1427 H. / 24 September 2006 M.

Aku Sultan Palembang !!!

Oleh : Kemas Ari, S.Pd.
Tanggapan terhadap tulisan Cerpen M. Arpan Rachman :
Siapa Sultan Palembang?



Saya sebagai orang Palembang, yang lahir di Palembang dan Insya Allah akan tetap di Palembang hingga akhir hayat. Saya berkeyakinan bila Kesultanan Palembang Darussalam dihidupkan kembali sebagai institusi budaya, setelah 200 tahun lebih tenggelam seiring waktu. Akan banyak memberikan manfaat bagi masyarakat dan pemerintahan di negeri ini.
Membaca Cerpen M. Arpan Rachman yang berjudul Siapa Sultan Palembang? Yang dimuat di Sriwijaya Post Minggu 11 Maret 2007 Halaman 6. saya secara pribadi mengucapkan selamat dan bangga ternyata masih ada orang Palembang yang peduli terhadap Kesultanan Palembang Darussalam (KPD), meskipun melalui kajian-kajian dibidang masing-masing, sesuai dengan profesi yang diamanatkan kepadanya. Namun saya menjadi bingung ketika Saudara M.A.Rachman Menuliskan Dialog yang menyebutkan Nama Husin berulang kali seperti berikut ini “Husin Adikku tersayang”, “Ya Adikku, Husin Tersayang”, “Camkanlah, Husin Karena Kau Adikku, dan Aku menyanyangimu, sungguh.”, “Mendengarkah engkau, Husin Adikku tersayang?” “Husin, dengarkah engkau, adikku Sayang?” “Adikku Husinku” “Kalau saja dia nanti bertanya siapa aku, bertanya kepadamu, Husin. Jawablah siapa aku ini!” “Lama tak terdengar lagi suaramu, adikku Husin tersayang” setidaknya ada 8 kali ungkapan dialog yang keluar menyebut nama Husin yang dinyatakan sebagai adik tersayang oleh orang yang mengeluarkan dialog. Yang menjadi pertanyaan saya Siapa orang yang dimaksud oleh saudara M.A. Rachman?
Pada Alinea ketiga Saudara menyebutkan tokoh Sultan Muhammad Bahauddin yang isinya menceritakan tentang Pembangunan Kantor Dagan Pertama Belanda di Palembang yang kemudian dikenal Loji Sungai Aur pada tahun 1742 dan serangkaian peristiwanya, data yang saudara tulis bersumber pada buku Perang Palembang Melawan VOC Djohan Hanafiah (2002) jika saudara baca ulang sumber yang saudara kutip maka tidak ada data yang menyembutkan bahwa Sultan Muhammad Bahauddin yang memberikan izin pembangunan Kantor Dagang Pertama Belanda di Palembang. Sebab secara logika Sultan Muhammad Bahauddin memerintah pada tahun 1776-1803, jadi bagaimana mungkin Sultan bisa memberikan izin pembangunan kantor dagang Belanda yang dibangun pada tahun 1742, akan lebih tepat saudara tulis Loji Sungai Aur dibangun bertepatan pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo/SMB I (1724-1758),
Sebagai informasi sebenarnya VOC sudah sangat ingin membangun Loji Sungai Aur bahkan kontraknya sudah ditandatangani tahun 1642 yaitu pada masa pemerintahan Pangeran Sedo Ing Kenayan (1639-1650), tetapi pelaksanaannya baru tahun 1662 bertepatan dengan masa pemerintahan Sultan Abdurrahman kholifatul Mukminin Sayidul Imam (1659-1706) mula-mula dibangun diatas rakit, kemudian diganti dengan bangunan kayu, kemudian baru secara permanen dibangun pada tahun 1742.
Kemudian masuk pada Alinea Keempat saudara mengeluarkan dialog Terhadap Husin yang tertulis sebagai berikut “Ya, Adikku, Husin tersayang. Dari Loji Sungai Aur terpecik api peperangan…”. Apakah dialog ini dilontarkan oleh Sultan Muhammad Bahauddin terhadap Husin? (sebagai tokoh yang saudara tulis pada alinea Ketiga), Atau dialog antara SMB II (tokoh yang tidak pernah saudara sebut) terhadap Adiknya Husin Dhiauddin? Sebab saudara tidak secara tegas menjelaskan tokoh Husin yang dimaksud!!!
Sebagai catatan untuk saudara M.A. Rachman bahwa Sultan Muhammad Bahauddin tidak mempunyai adik yang Bernama Husin, tetapi beliau mempunyai anak yang bernama Raden Husin Dhiauddin, jadi penokohan diatas patut dipertanyakan? Berdasarkan catatan silsilah yang ada pada Zuriat Pangeran Bupati Panembahan Hamim (Raden Abdul Qodir Bin Abdul Rachman dan Raden Nawawi Bin R.H. Syahabuddin) mencatat bahwa Sultan Muhammad Bahauddin dan Ratu Agung mempunyai keturunan 13 orang Namun dari data lain yang penulis dapatkan dari Sultan Mahmud Badaruddin III Prabudiradja (Raden Muhammad Syafe’i Prabu diradja) bahwa Sultan Muhammad Bahauddin yang menikah dengan Ratu Agung mempunyai anak (keturunan) sebanyak 9 orang”, diantaranya adalah Raden Hasan (SMB II), Raden Husin (Sultan Mudo) serta Pangerang Bupati Panembahan Hamim. bahwa Zuriat Sultan Bahauddin secara lengkap adalah sebagai berikut;

SULTAN MUHAMMAD BAHAUDDIN + RATU AGUNG (1776-1803) :
1. Raden Ayu Purba Negara Nakiah (Lahir malam isnen jam 3. tanggal 8 Syafar 1175 H. atau
25 november 1761 M.)
2. Raden Ayu Mangkunegara Hamidah (Lahir Malam Jumat, Jam 1.25. tanggal 3 Rejeb 1177
H atau 26 Maret 1764 M.)
3. Raden Ayu Natawikromo Aisyah. (Lahir Malam Sabtu Jam 10. tanggal 28 Muharam 1180
H atau 22 November 1766 M.)
4. Raden Hasan Pangeran Ratu bergelar Sultan Mahmud Badaruddin/SMB II (Lahir Malam
Ahad, Jam 9. tanggal 1 Rejeb 1181 H atau 9 Februari 1768 M.)
5. Raden Husin Dhiauddin bergelar Pangeran Adi Menggalo kemudian bergelar Sultan Akmad Najamuddin II setelah diangkat oleh Inggris sebagai Sultan Mudo. (Lahir Hari
Sabtu Jam 4. tanggal 3 Ramadhan 1183 H atau 19 Maret 1770 M.)
6. Raden Ayu Wikromo Bariah. (Lahir Malam Jumat, Jam 3. tanggal27 Muharram 1186 atau
18 Juli 1772 M.)
7. Pangeran Jayakromo. lahir pada 1188 H. atau 1774 M, (Hari lahir & jam serta tanggal &
bulan tidak tercatat).
8. Pangeran Natawikromo. lahir pada tahun 1189 H. atau 1775 M, (hari lahir & jam serta
tanggal & bulan tidak tercatat.
9. Raden Muhammad Hanafiah. (Lahir Sabtu Jam 2. tanggal 11 Zulqaidah 1990 H atau 10
Maret 1777 M.)
10. Pangeran Bupati Panembahan Hamim. (Lahir Sabtu Jam 8. tanggal 17 Syawal 1192 H atau
25 Januari 1779 M.)
11. Pangeran Adipati Abdur Rahman. (Lahir Hari Senin Jam 6. tanggal 15 Rabiul Akhir 1195 H
atau 27 Juni 1781 M.)
12. Pangeran Penghulu Natagama Fa’ruddin. Lahir pada tahun 1197 H atau 1783 M, (Hari
lahir, serta jam tanggal & bulan tidak tercatat).
13. Raden Ibrahim. (Lahir Jumat Jam 2. tgl & bln tdk tercatat tanggal 4 Syafar 1213 H / 15
Oktober 1797 M.)

Akan tetapi pada 2 alinea terakhir saya membaca tulisan saudara yang tertulis sebagai berikut “Naik aku ke geladak kapal Dageraad menuju Batavia. Akhirnya berlayar ke Teranati di ujung nusa. Lama tak kudengar lagi suaramu, adikku Husin tersayang. Dari tempatku nan jauh di Teranati sana. Hingga akhirnya sampai juga kabar itu ke telinga. Bahwa ananda Ahmad Najamuddin Prabu Anom telah dinobatkan menjadi Sultan. Sungguh aku percaya, kemenakan itu niscaya kan bersyahid pula seperti kita”. Mencermati tulisan dialog ini maka Tokoh yang mengeluarkan dialog terhadap Husin yang tercatat sebanyak 8 kali (Husin Adikku Tersayang, dll) adalah Sultan Akhmad Najamuddin II kesimpulan ini muncul karena kalimat terakhir si tokoh tersebut menyebutkan nama anaknya yang menjadi Sultan yaitu Akmad Najamuddin Prabu Anom.
Maaf kalau boleh sedikit saya menyampaikan masukkan lagi kepada saudara! bahwa penokohan yang saudara maksud dalam Pengadeganan Siapa Sultan Palembang? Tidak tepat!!! karena dalam catatan sejarah KPD Sultan Akmad Najamuddin II yaitu ayah dari Sultan Akhmad Najamuddin Prabu Anom bukanlah sebagai kakak dari Husin tetapi Ia adalah adik dari Raden Muhammad Hasan yang kemudian dikenal sebagai Sultan Mahmud Badaruddin II yang lahir pada malam Ahad, Jam 9. (1 Rejeb 1181 H atau 9 Februari 1768 M.). Sedangkan Sultan Akhmad Najamuddin II lahir 2 tahun kemudian tepatnya pada hari Sabtu Jam 4. (3 Ramadhan 1183 H atau 19 Maret 1770 M.) yang diberi nama Raden Husin Dhiauddin yang kemudian dikenal sebagai Sultan Mudo. Sebagai kesimpulan, jika sumber yang saudara pakai adalah buku Perang Palembang Melawan VOC maka tokoh yang tepat untuk saudara munculkan adalah Sultan Mahmud Badaruddin II (Raden Hasan) yang sedang berbicara kepada adiknya Raden Husin Dhiauddin.




Palembang, Minggu / 11 Maret 2007
*) Penulis adalah Staf Pengajar pada : Fakultas Adab IAIN Raden Fatah dan MAN 1 Palembang.



SULTAN Di Mata Taufik Wijaya

OLEH : kEMAS ARI, S.Pd.


Melahirkan Kembali Kesultanan Palembang Darussalam? Dualisme Kesultanan Palembang? Siapa Sultan Palembang? Kocok Ulang Kesultanan Palembang? Memajukan Agenda Kesultanan? Menulusuri Jejak Sultan? dan masih banyak lagi OPINI tentang permasalahan yang berkaitan dengan Polemik Kesultanan Palembang Darussalam pada akhir-akhir ini yang dimuat oleh media massa bagaikan sinetron yang terus berlanjut dengan episode yang panjang, dan sayapun menjadi terus mengikuti ingin mencari akhir dari cerita/tulisan yang dimunculkan. Mulai dari Media Massa Lokal (Palembang) maupun Nasional.
Jujur saja saya sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di Palembang. Pada dasarnya merasa bangga, dengan bangkitnya Kesultanan Palembang Darussalam (KPD). Dan yang paling penting pada saat ini dari golongan generasi muda yang berprofesi sebagai Sejarawan/Budayawan/Pemerhati dan Peminat Sejarah serta Pekerja Seni, banyak bermuncullah di kota ini, hal ini menandakan bangkitnya kesadaran sejarah sebagai sesuatu yang mesti terus dijaga sebagai asset yang bermakna positif. Membaca Tulisan Taufik Wijaya (TW) dalam Media Indonesia, Sabtu 2 Juni 2007 serta Purhendi, S.Pd. Media Indonesia, Sabtu 7 Juli 2007 pada halaman dan rubrik yang sama tampaknya terjadi 2 kutub pandangan yang berbeda.
Menurut TW bahwa Polemik antara Raden Mas Syafei Prabu Diraja alias Sultan Mahmud Badaruddin III dan Raden Mahmud Badaruddin alias Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin, tampaknya mulai mereda. Sebab belum lama ini mereka bertemu di rumah seorang sesepuh wong Palembang. Kedua Sultan itu tampak akrab dan tidak menampakkan ketegangan atau memperdebatkan posisi Sultan Palembang (Media Indonesia, 2/06/’07; hal.8 Alinea ke-30). Kemudian pernyataan ini dibantah oleh Purhendi dalam Media Indonesia, Sabtu 7/07/’07; hal.8. Menurutnya kedepan para penulis tentang Kesultanan di Palembang kiranya menyertakan fakta juga karena ini berkaitan dengan sejarah, bukan legitimasi semata. Karena itu, saya pun kembali bertanya, kapan dan dimana ada kesepakatan damai antara Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin dan SMB III yang dihadiri oleh seorang sesepuh di Palembang itu, seperti yang diltulis TW? Siapa pula sesepuh yang dimaksud?.
Apa yang ditulis oleh saudara TW sebenarnya hanya sebuah interpretasi terburu-buru bahkan data yang didapat tidak di cross cek/verifikasi (kritik sumber) terlebih dahulu. Sebenarnya yang dimaksud pertemuan antara SMB III dengan Iskandar MB adalah sebuah pertemuan biasa bagi wong Palembang yaitu dalam suatu acara memperingati 40 hari wafatnya Abdullah Murod di kediaman H. Dung Cik Jl. Urip Sumoharjo Yayasan IV no.18 RT 11Palembang (Sumatera Ekspres, Kamis 5 Juli 2007; hal.4). Apakah sebuah pertemuan dalam acara Tahlilan 40 hari dapat langsung di Klaim sebagai sebuah kesepakatan damai? Jawabannya, tentu tidak! apalagi setelah di tanyakan dengan orang yang bersangkutan.
Beberapa minggu kemudian secara kebetulan penulis membaca di koran lokal pada hari Kamis 5 Juli 2007 di halaman 4, dalam berita Advetorial di kolom Society Biz Harian Umum Sumatera Ekspres. Yang isinya menceritakan tentang pertemuan SMB III dengan Iskandar MB dalam suatu acara tahlilan 40 hari. Berikut ini pernyataan dari SMB III kepada penulis dalam suatu kesempatan dikediamannya Jl. Sultan Muhammad Mansyur Palembang, pukul: 20.00 WIB pada hari Minggu/24 Juni 2007 ;
Penulis : Maaf, Mang...! sudah baca tulisan Taufik Wijaya di Media Indonesia,
hari Sabtu tanggal 2 Juni 2007?
SMB III : Sudah...! jawabnya singkat
Penulis : Apakah pernyataan TW dalam berita tersebut benar?
SMB III : Idak bener itu!!!, Macak-macak bae...! Kapan pulo Kulo ni ketemu dengen Iskandar.
Apolagi nak ngomong tentang Dami/Rujuk/Islah, ungkap SMB III dengan serius. Mungkin yang dimaksud dengen pertemuang itu yaitu waktu kulo datang di acara tahlilan, memang ado nian itu! tapi kulo dak tau kalo nak ketemu dengan Iskandar disano, kareno kulo datang acara la sudah slesai. Pada saat dirumah itulah Iskandar gari kulo. Kareno ini cuma silaturahmi bae, jadi kulo raso dak baek kan. kalo wong datang sudah salaman dan ngajak ngomong, kito diem bae cak patung..., bener dak cek Ari?.
Penulis : Iyo...mang! (ungkap saya ringkas)
SMB III : Nah mungkin inilah yang dipolitisir oleh Iskandar serto Topik (TW, maksudnya) dan
waktu kulo lagi mgomong memang ado yang motret waktu itu.
Penulis : oh...., cak itu mang!

Jadi apa yang ditanyakan oleh Purhendi dalam tulisannya adalah benar! bahwa menulis sebuah sejarah haruslah berdasarkan fakta, jangan ada “Udang di Balik Batu”?. apalagi berusaha untuk menggiring OPINI PUBLIK terhadap suatu pembenaran, Karena saya pun juga ikut membaca beberapa tulisan TW yang selalu mengarahkan pembaca untuk meligitimasi Iskandar Mahmud Badaruddin sebagai Sultan, dan itu memang karakter dari TW yang berusaha untuk mendoktrinisasi orang lain terhadap pembenaran pendapatnya, sampai saat ini bukti tulisannya masih saya kliping dan simpan jika saudara TW ingin memfotocopi.
Masih menurut TW yang mengatakan bahwa Kedua Sultan bukanlah ahli nasab. SMB III adalah keturunan dari SMB II dari istri keenam, sedangkan Iskandur MB adalah keturunan Sultan sebelumnya, yakni Sultan Mansyur jayo Ing Lago (Media Indonesia, Sabtu 02 Juni 2007 hal. 8 alinea ke-6). Pertanyaan saya Apakah saudara TW sudah melihat dan membaca silsilah Asli dari kedua Sultan yang dimaksud? Jangan-jangan Cuma berdasarkan cerita dari seseorang kemudian langsung ditulis tanpa dilakukan verifikasi/Kritik sumber, kalau ini terjadi akan sangat membahayakan dan terjadi kebohongan publik, yang menurut Purhendi dalam sidirannya adalah orang yang paling berjasa dalam Pembelokan sejarah Kesultanan Palembang Darussalam masa kini, atau memang tidak mengerti sama sekali?
Menurut hemat penulis Kalau kita beranggapan bahwa Logika TW diatas ini benar! Mari kita sama-sama membuat suatu penapsiran tentang ahli Nasab dan Silsilah kedua Sultan yang ada. SMB III diakui oleh TW sebagai keturunan dari SMB II (Raja ke-8 KPD) dari istrinya yang bernama Ratu Ulu Zubaidah, sedangkan Iskandar MB adalah keturunan dari Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago ( Raja ke-2 KPD) entah dari istri yang mana? Hal ini perlu ditanyakan juga mengingat sampai dengan Tulisan TW dimuat 2 Juni 2007, Silsilah dari Iskandar MB masih tidak jelas? berbeda dengan SMB III yang sejak tahun 2003 secara fair berani menunjukkan garis Nasab dan silsilahnya kepada masyarakat umum yang sekedar ingin melihat maupun meneliti. Jika menggunakan logika TW tentang Garis keturunan, Siapakah yang lebih berhak diantara 2 Sultan yang disebutkan TW menjadi Sultan di KPD? Sultan Mahmud Badruddin III atau Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin? Para pembacalah yang berhak menjawabnya!!!.
Dan sedikit masukan buat TW setahu saya nama lengkap dari SMB III bukanlah Raden Mas Syafei Prabu Diradja tetapi Drs. Raden H. Muhammad Sjafei Prabu Diradja, S.H. apakah saudara masih juga tidak mengerti!?!?! Karena dalam penulisan nama wong Palembang sejaka zaman Kesultanan Palembang Darussalam yang berbasis agama Islam hingga saat ini (Wong Palembang Asli) tidak mengenal atau memakai gelar Raden Mas seperti Tradisi di Masyarakat Jawa, melainkan memakai Raden Muhammad atau Raden Ahmad atau Raden. Karena saudara TW terus melakukan kekeliruannya dalam penulisan nama-nama diatas hal ini saya baca di Harian Sumatera Ekspres, Sriwijaya Post serta Pantau dan Detikhot.Com, serta lain-lain.
Sekedar Infomasi yang penulis dapatkan dari hasil penelitian selama + 6 tahun terhadap Bangkitnya Kesultanan Palembang Darussalam dan Polemik sepu­tar pengangkatan Ir. R.H. Mahmud Badaruddin bin R.H. M. Harun sebagai Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin di Benteng Kuto besak 19 Nov 2006 beberapa waktu lalu, akan terus berlanjut. Hal ini telah penulis perkirakan sejak awal Mengingat penobatan Sultan Iskandar pada waktu itu tidak melibatkan Drs. R. H. M. Sjafei Prabudiradja, SH. Bin Raden H. Abdul Hamid Prabudiradja IV, sebagai salah satu Zuriat dari Kesultanan Palembang Darussalam (KPD) dan beberapa zuriat lainnya yang dianggap tidak sepaham. Sebelumnya telah dinobatkan R.M. Sjafei Prabudiradja, SH. sebagai Sultan Mahmud Badaruddin Prabudiradja (SMB III) pada tanggal 3 Maret 2003 di Masjid Lawang Kidul Oleh Majelis Adat KPD.
Untuk itu penulis akan menguraikan beberapa data dan fakta secara kronologis dan proporsional tentang penobatan kedua Sultan Palembang tersebut diatas sebagai bahan perbandingan dan kajian:

1. Silsillah Sultan Mahmud Badaruddin III
Untuk Membuktikan apakah Kedua Sultan adalah ahli nasab dari Raja atau Sultan dari Kesultanan Palembang Darussalam perlu dibuktikan secara mendetail tanpa ada unsur rekayasa (setidaknya dengan Silsilah) dan beberapa benda Arkeologis yang ditinggalkan oleh para leluhurnya. Ketika Penulis dan TIM 17 Palembang Darussalam berkunjung ke rumah SMB III, penulis diberikan kesempatan untuk berdialog serta melihat beberapa benda-benda peninggalan dari leluhurnya antara lain Denah Pengasingan (tempat tinggal) SMB II di Ternate, Stempel SMB II, Senjata, Foto-foto dan Silsilah serta beberapa catatan Pribadi Pangeran Prabu Diratdjah Haji Abdullah yang sempat ikut dibuang ke Ternate, yang kemudian kembali lagi ke Palembang.
Menurut Silsilah yang penulis lihat dan baca ; bahwa Drs. R. H. M. Sjafei Prabudiradja, SH. Sebagai Sultan Mahmud Badaruddin Prabu Diradja (SMB III) adalah keturunan ke-11 dari Sultan Abdurrachman dan beliau adalah anak dari Raden H. Abdul Hamid Prabu Diratdjah IV, bin R.H. Sjarif Prabu Diratdjah III, bin R. H. Abdul Habib Prabu Diratdjah II, bin Pangeran Prabu Diratdjah Haji Abdullah, bin Raden Hasan (Sultan Mahmud Badaruddin II), bin Sultan Muhammad Bahauddin, bin Sultan Ahmad Najamuddin Adikusumo, bin Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (SMB I), bin Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago, bin Sultan Abdurrachman Kholifatul Mukminin Sayidul Iman (Pangeran Ario Kusumo Abdurrochim/Ki Mas Endi).

2. Silsilah Iskandar Mahmud Badaruddin
Namun sayang Ketika Penulis ingin meneliti tentang Silsilah dari Iskandar MB untuk dapat bertemu dan berdialog secara langsung ditolak dengan berbagai alasan, Namun penulis sempat bertemu dengan Salah satu Zuriat dari Pangeran Purboyo yang bersedia untuk diwanwancarai dan melihatkan catatan pribadi dan silsilah keluarga maka dapatlah penulis tuangkan dalam makalah ini sekilas data tentang Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin yang bernama lengkap: Ir. R. H. Mahmud Badaruddin adalah anak dari R. H. Muhammad Harun, bin R. Muhammad Hasyir Ceksyeh (Demang Polisi).
R. M. Hasyir Ceksyeh mempunyai istri yang pertama bernama Raden Ayu Zahra binti Raden Azhari bin Raden Achmad Temenggung Kartamenggala bin Pangeran Penghulu Nata Agama Muhammad Akil, bin Pangeran Natodiradjo, bin Pangeran Purbayo, bin Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago, bin Sultan Abdurrachman Kholifatul Mukminin Sayidul Iman (Pangeran Ario Kusumo Abdurrochim/Ki Mas Endi). Dan dari Istrinya yang Kedua yang bernama Cek Ning. R.M. Hasyir Ceksyeh mempunyai 10 orang keturunan yaitu;
1. R.A.Hj.Zainab, 2. R.M.Hasan, 3. R.A.Zainur, 4. R.A.Zaimah, 5. R.M.Husin Natodiradjo, 6. R.M.Hasim, 7. R.M.Harun, 8. R.A.Zaleha, 9. R.M.Hamid, 10. R.A. Muzamma Hindun. (Dari anaknya yang ke tujuh (R.M. Harun) melahirkan Ir. R.M. Mahmud Badaruddin yang kemudian memakai gelar Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin).

3. Penobatan Sultan Mahmud Badaruddin III
Pada tanggal 24 Februari 2003 (22 Dzulhijjah 1423 H) diadakah musyawarah Adat dan Sesepuh Masyarakat Palembang di Auditorium IAIN Raden Fatah Palembang yang dihadiri + 200 orang peserta, yang merekomendasikan terbentuknya Majelis Musyawarah Adat Palembang Darussalam (Majelis MAPD) yang mengemban misi untuk Menggali dan merawat peninggalan Kesultanan Palembang Darussalam, serta Melestarikan Adat Istiadat, Tata Krama, sopan Satun di Negeri Palembang Darussalam. Untuk memenuhi harapan tersebut maka Majelis MAPD perlu segera mencari tokoh atau figur untuk menjadi Pelopor, Penggerak, serta yang dianggap Pantas untuk menjadi Sultan Palembang.
Kemudian pada hari Jum’at tanggal 28 Februari 2003 (26 Dzulhijjah 1423 H) bertempat di Sekretariat Dewan Pengurus Harian Majelis MAPD Menindak lanjuti dari hasil seminar di IAIN Raden Fatah yang telah merekomendasikan beberapa persyaratan untuk mencari Figur/Tokoh yang akan dijadikan Sultan Palembang. Adapun persyaratan tersebut sebagai berikut Syarat Poko/Wajib: 1. Beragama Islam. 2. Berasal Dari Zuriat (Keturunan) Sultan Palembang Darussalam. 3. Mempunyai Bukti Amanah (Beberapa benda peninggalan dari Kesultanan Palembang Darussalam) yang telah terjaga dengan baik. dan Beberapa Syarat Tambahan: 1) Dikenal oleh Masyarakat Palembang, 2) Dapat Mendorong Semangat Kesatuan dan Persatuan Masyarakat Palembang Darussalam, 3) Peduli terhadap peninggalan KPD, 4) Tidak terlibat baik langsung maupun tidak langsung terhadap pengrusakan atau penjualan Benda (Aset) peninggalan KPD, 5) Berani berkorban untuk kemajuan dan kebanggaan masyarakat dan Zuriat KPD, 6) Mengenal negeri Palembang/Bertempat tinggal di Palembang, 7) Berpendidikan Minimal tingkat SMA, 8) Berpengalaman dalam berorganisasi.
Setelah memiliki pedoman atau Persyaratan Sultan Palembang Darussalam maka pada tanggal 2 Maret 2003 (28 Dzulhijjah 1423 H) diadakan pengamatan dan penelitian serta penilaian terhadap beberapa tokoh untuk dijadikan Sultan, dan menetapkan Drs. Raden Muhammad Sjafei Prabu Diradja, SH. bin Raden Haji Abdul Hamid Prabu Diratdjah IV sebagai Sultan Kesultanan Palembang Darussalam dengan gelar Sultan Mahmud Badaruddin Prabudiradja (SMB III). Kemudian pada Hari Senin, Tanggal 3 Maret 2003 (29 Dzulhijjah 1423 H) pukul 10.00 WIB di Masjid Lawang Kidul R. M. Sjafei Prabudiradja dikukuhkan menjadi Sultan Palembang oleh Majelis MAPD (kemudian Majelis ini berubah nama menjadi Majelis Musyawarah Adat Keslutanan Palembang Darussalam (Majelis MAKPD).

4. Penobatan Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin
Berdasarkan Rapat Zuriat yang di Klaim Oleh Iskandar mewakili beberapa zuriat Palembang se-Nusantara telah mengamanatkannya untuk menjadi Sultan, sehingga dikukuhkanlah Ir. R.H. Mahmud Badaruddin sebagai Sultan Iskandar Mahmud Badruddin oleh Ketua Dewan Adat Sumatera Selatan Ir. Djohan Hanafiah. Atas dasar Permufakatan Zuriat Kesultanan Palembang Darussalam Se-Nusantara, yang diadakan pada hari Sabtu tanggal 18 November 2006 di Palembang dengan ini menyatakan :
- Perlu peningkatan wadah Zuriat Kesultanan Palembang Darussalam dalam bentuk Kesultanan yang berorientasi kepada Kebudayaan dab Adat Istiadat.
- Untuk itu perlu dibentuk Dewan Kesultanan /Dewan Adat Kesultanan Palembang Darussalam untuk menjaga dan mengawasi perkembangan adat istiadat. Mengangkat dan menobatkan Ketua Umum Himpunan Zuriat Kesultanan Palembang Darussalam (HZKPD) dengan gelar Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin
.
Dinyatakan di Benteng Kuto Besak Palembang
Pada hari Minggu/Ahad Tanggal 19 November 2006 / 27 Syawal 1427 H.

Peristiwa Penobatan inilah yang jadi permasalahan dan awal dari polemik Kesultanan Palembang. Menyimak dan membaca dari Surat Pernyataan (Maklumat) yang dibacakan Himpunan Zuriat KPD di Benteng Kuto Besak pada acara Halal bi Halal dan Deklarasi Himpunan Zuriat Kesultanan Palembang Darusalam Nusantara, maka menurut penulis Iskandar Mahmud Badaruddin adalah seorang Pimpinan atau Ketua dari organisasi yang bergelar Sultan.
Jauh sebelumnya sejak tahun 2004 Iskandar MB telah mendirikan dan memimpin organisasi yang bernama Himpunan Zuriat Kesultanan Palembang Darussalam (HZKPD) kemudian 19 Nov 2006 ditingkatkan menjadi HZKPD Nusantara kemudian Ia juga diberi gelar Sultan jadi bukan Sultan Kesultanan Palembang Darussalam, hal ini dapat dibandingkan Jabatan Presiden ada Presiden RI ada juga Presiden Penyair, Presiden PKS, Presiden LSM, serta Presiden Mahasiswa, atau Presiden Direktur dan lain-lain. Kriteria ini cocok dengan Alasan yang dilontarkan Johan Hanafiah sebagai Ketua Majelis Adat Sumatera Selatan yang justru melantik Sultan Iskandar MB itu sendiri. ....Djohan mengaku, pelantikan Iskandar untuk menjadi Sultan telah sesuai aturan, karena pelantikan itu sama dengan pem­bentukan LSM yang lainnya. "Jadi tidak perlu dipertanyakan kapasitas saya sebagai apa. Sedangkan mengenai undangan yang tak sesuai acara itu sah-sah saja, lagi pula Gubernur Sumsel sendiri tak meninggalkan acara meski ada perubahan susunan acara,” (Palpos,30 Nov 2006, Hal. 4).
Sebagai seorang Budayawan Mang Djohan (Djohan Hanafiah) hendaknya bersikap Arif dan Bijaksana, bukan malah memperkeruh permasalahan. Lihat dari pendapatnya ketika SMB III dinobatkan Ia mengatakan bahwa sudah tidak perlu dibentuk kembali Kesultanan Palembang Karena sudah tidak ada sejak + 200 tahun yang lalu (1823, penulis). Berikut kita kutip pernyataan Djohan Hanafiah disalah satu media lokal “Saya sebenarnya prihatin melihat kenyataan tersebut. Pengukuhan tersebut (SMB III) hanya ceremony atau perayaan keluarga semata. Di mata saya kemunculan itu adalah sebuah pemberian nama dalam satu keluarga. Bila kembali terbentuk suatu Kesultanan, lantas mana yang menjadi pengikutnya, bagaimana dengan peraturan pemerintahnya dan dimana pusat kegiatannya. Sebenarnya saat ini tidak ada lagi Kesultanan dan itu sudah sejak 1823 atau saat keruntuhan KPD. Masih menurutnya, kini KPD hanya tinggal kenangan seperti kisah-kisah kepahlawanan saja.(Sumeks, Selasa 11 Maret 2003, hal.21).

Namun setelah 3 tahun kemudian pernyataan itu menjadi berbeda ketika Djohan Hanafiah juga melakukan/melantik sultan Iskandar beliau menegaskan, apa yang mereka lakukan (pelantikan Iskandar) tidak mnenyalahi aturan, jika ada yang tak mengakui Raden H. Mahmud Badaruddin menjadi Sultan itu hak mereka,Yang jelas kami tak masalah. Dulu sultan mempunyai wilayah, kekuasaan, pendukung, kerajaan dan sebagainya, tapi sekarang kesultanan tidak lebih dari lambang kebudayaan yang bentuknya tidak jauh beda dengan organisasi masyarakat” jelasnya (Palpos,30 Nov 2006, Hal. 4).
Kesimpulan saya bahwa Sultan Iskandar adalah seorang pimpinan organisasi massa yang berbasis budaya yang diberi dan menyandang gelar Sultan, kalau beliau berjalan sesuai dengan jalur dan porsinya tentu ini akan menjadi nilai plus bagi dirinya yang ingin menjadi seorang Publik Figur (Walikota/wakil atau Gubernur/wagub), dengan tidak membuka konfrontasi antar sesama akan lebih baik nilainya bukankah sekarang suara rakyat sangat menentukan. Jadi jaga sikap jika ingin dipilih oleh Wong Palembang. Dalah Hal ini saya melihat bahwa Iskandar tidak menempatkan dirinya sesuai dengan komitmen organisasinya sendiri.
Dari pimimpinan sebuah organisasi masa HZKPD kemudian dipaksakan untuk menjadi sebuah Institusi Kesultanan dengan nama Kesulatanan Palembang Darussalam serta mengaku sebagai Sultan KPD dalam berbagai kesempatan. sangatlah tidak pantas dilakukan, apalagi ada unsur “riak” (ada udang dibalik KPD) adalah termasuk perbuatan yang tidak berbudaya. Leluhur kita tidak pernah mengajarkan seperti itu bukankah masih ada jalan lain, musyarah misalnya. Janganlah karena untuk kepentingan sesaat semua digadaikan demi suatu Misi yan Ambisius. Kalau ingin menghidupkan budaya silahkan saja, saya pun ikut senang, dan bersedia bahu membahu untuk itu, tapi jangan rusak catatan sejarah negeri ini, Sebagai orang yang berkecimpung di dunia sejarah saya tidak ingin sejarah Besar Kesultanan Palembang Darussalam tambah rusak dan hancur setelah dihilangkan jejaknya oleh kaum penjajah.

Palembang Darussalam 2007

KESULTANAN PALEMBANG DARUSSALAM DALAM PERSPEKTIF SEJARAH NUMISMATIK

Oleh : K e m a s A r i, S.Pd.



Banyak cara untuk Mempelajari sejarah tak terkeculi Sejarah Kesultanan Palembang Darussalam, Pengkajian bisa dilakukan dengan memakai berbagai sumber baik Sumber Tertulis, Benda maupun Lisan. hal ini telah digariskan dalam disiplin ilmu sejarah. Numismatik adalah salah satu ilmu Bantu Sejarah yang sering digunakan oleh para Sejarawan, kolektor, pemerhati dan peminat sejarah. Bahkan Sejak abad pertengahan, terutama di Eropa para kolektor mulai tertarik mengumpulkan aneka mata uang untuk dijadikan sebagai koleksi. Lama kelamaan timbul ketertarikan para ilmuwan/Sejarawan.

Istilah ini berasal dari bahasa yunani nomisma dan dari bahasa latin numisma, yang berarti koin atau mata uang. Kata nomisma itu berasal dari kata dasar nomos yang berarti jumlah atau hukum berat. Berawal dari pengertian numismatik tersebut kemudian orang sering mengartikan uang sebagai sesuatu yang bisa digunakan dan diterima secara umum sebagai alat tukar, pengukur nilai, standar jual beli, standar utang dan garansi menanggung utang (Sukanti, dkk. 2001: hal. 7).

Dengan adanya penyebaran Islam di Indonesia maka mempengaruhi budaya masyarakat setempat seperti terlihat dari berbagai macam peninggalannya berupa masjid, batu nisan, serta mata uang dan lain sebagainya. Khusus mengenai mata uang yang ada pada saat itu memiliki ciri-ciri yang menunjukkan pengaruh Islam berupa tulisan dan bahasa Arab yang terdapat pada mata uang tersebut, akan tetapi sangat disayangkan pada koin Kesultanan Palembang Darussalam (KPD) tidak ditemukan nama Sultan berkuasa / yang memerintah pada saat uang tersebut dicetak, melainkan hanya berisi tulisan Seperti berikut ini “Masruf Fi Balad Palembang”, dan “Al Syulthon fi Balad Palembang”, dan “Hadza Fulus Palembang”, serta “Khalifah fi Balad Palembang Darussalam”. dan “Alamat Sultan”.

Hal ini berbeda dengan uang/koin kuno di Kesultanan yang lain adakalanya dicantunmkan alamat Sultan, tahun memerintah, atau nama raja yang sedang memerintah sewaktu mata uang tersebut dikeluarkan, contohnya pada koin/mata uang Samudera Pasai yang menyebutkan nama Sultan Muhammad Malik az Zahir as sultan al-die (Sukanti, dkk. 2001: hal. 15). Dan Koin Jambi yang bertuliskan Sultan Ratu Pangeran Taha, dan koin Malaka yang tertulis Muzaffar Shah al Syulthon, dan disisi sebaliknya tertulis Nasir al Dunia Wa’l Din yang berarti Sukses dunia dan agama. Pesebaran koin Palembang dan Koin Malaka ditemukan di antara kedua negeri. menurut Kenny Ong, Pemerhati koin nusantatara yang tinggal di Malaka, ini menunjukkan bahwa pada zaman itu telah terdapat hubungan dagang antara Palembang dengan Malaka (A. Khalik R. Muhibat, 2007: hal. 6).

Dari hasil pengamatan penulis diketahui Koin tertua tercatat tahun 913 H / 1506 M. dan Koin termuda tahun 1253 H / 1837 M. Sebagian besar uang/koin KPD terbuat dari timah putih. Hal ini disebabkan karena bahan baku yang banyak ditemukan di Wilayah KPD adalah timah putih di Kepulauan Bangka Belitung. Koin yang terbuat dari timah lebih cepat rusak, mudah aus, dan mudah patah. Namun juga ditemukan koin yang terbuat dari bahan tembaga yang tertulis dalam Huruf arab melayu “Hadza Fulus Palembang Sanah 1198 H” (Inilah Uang Palembang tahun 1784 M). Koin KPD selain tidak mencantumkan nama Sultan, hanya dicetak pada satu sisi saja (dicetak hanya sebelah) pada sebaliknya dibiarkan kosong atau polos.

Koin tertua KPD yang ditemukan berangka tahun 913 H./1506 M. Di koin tersebut tertulis “Al Syulthon fi Balad Palembang sanah 913 H”. ( Sultan di Negeri Palembang Tahun 913 H. atau 1506 M). ini menyatakan bahwa pada masa tersebut pengusa Palembang telah beragama Islam, meskipun tidak/belum secara terang-terangan (pemakaian gelar Sultan hanya sebatas di Mata Uang/koin) karena koin tersebut dicetak dengan menggunakan Huruf dan Bahasa Arab. Pada saat itu penyebaran agama Islam telah berkembang seiring dengan runtuhnya kekuasaan Kerajaan Majapahit di Indonesia, hal ini terbukti dengan adanya makam Ario Dilla/Ario Abdillah. Dilhat dari namanya telah bercirikan Islam. Kemudian ditemukan juga koin yang berangka tahun 1023 H / 1613 M. Di koin tersebut tertulis “Al Syulthon fi Balad Palembang sanah 1023 H”. ( Sultan di Negeri Palembang Tahun 1023 H. atau 1613 M). Koin ini dibuat Pada masa pemerintahan Pangeran Madi ing Angsoko yang memakai gelar Pangeran Ratu Sultan Jamaluddin Mangkurat II (PRSJM.II).

Kemudian pada tahun 1069-1118 H. / 1659-1706 M. Ki Mas Endi / Pangeran Ario Kesumo Abdurrahim memakai gelar Sultan Abdurrahman Kholifatul Mukminin Sayidul Imam. Selain memakai gelar Sultan Abdurrahman agama Islam dijadikan agama resmi kerajaan dengan mengganti Kerajaan Palembang menjadi Kesultanan Palembang Darussalam, pada masa pemeintahannya ditemukan 2 jenis Koin Palembang yang tertulis “Masruf Fi Balad Palembang Sanah 1091 H”. (Dicetak di Negeri Palembang tahun 1091 H atau 1677 M), dan “Al Syulthon fi Balad Palembang sanah 1113 H”. ( Sultan di Negeri Palembang Tahun 1113 H. atau 1699 M).

Pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (SMB.I) 1136-1171 H / 1724-1758 M. dicetak Koin KPD yang bertuliskan “Khalifah fi Balad Palembang Darussalam Sanah 1162 H”. (Pemimpin di Negeri Palembang Darussalam Tahun 1162 H atau 1748 M). Kemudian Koleksi koin KPD bertambah lagi ragamnya. Setelah ditemukan Koin yang dicetak pada tahun 1198 H. / 1784 M. yang bertuliskan “Hadza Fulus Palembang sanah 1198 H”. (Inilah Uang Palembang dibuat Tahun 1198 H atau 1784 M) koin dicetak pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Bahuaddin 1190-1218 H. / 1776-1803 M.

Sedikitnya, terdapat 20 corak/jenis koin zaman kesultanan Palembang Darussalam, dengan berbagai macam bentuk dan ukuran. Selain itu ditemukan juga peredaran mata uang/koin dari kesultanan Banten, Saik, Jvmbi, Deli, Malaka, Trengganu, serta VOC, dan Cina. Sebagian besar koin tersebut tidak mencantumkan nilai tukvr (nominalnya). Baru pada awal abad ke-19, setelah kekuasaan VOC dihapuskan, dikeluarkan mata uang/koin nederland Indie yang memuat nilai tukar /nominal.

Palembang;
Selasa,01-Mei-2007
(13-RabiulAkhir-1428)

MEMBEDAH DUALISME KESULTANAN MELALUI GARIS NASAB DAN SILSILAH

Oleh : Kemas Ari dan H. Ahmadi

Membaca berita yang dimuat oleh Berita Pagi tentang Dualisme Kesultanan Palembang Darussalam, Minggu 1 Juli 2007. membuat saya tertarik untuk sedikit menulis, dan awalnya saya hanya mengikuti saja berita-berita tersebut di media massa sejak Nopember 2006, dan terakhir pada Diskusi pelurusan sejarah Kesultanan Palembang Darussalam (KPD) yang diadakan di Auditorium IAIN Radn Fatah 30 Juni 2007, terlepas dari siapa penyelenggaranya serta apa yang ingin dicapai serta manfaatnya. Saya Melihat akar permasalahan sebenarnya berawal dari penobatan Sultan Iskandar sebagai sultan yang kedua (19/11/2006) jauh sebelumnya (3/3/2003) telah dinobatkan SMB III Prabudiradja, dan yang menjadi akar permasalahan adalah masalah Legitimasi dan Legalisasi Sultan yang bedasarkan ahli nasab dan silsilah.
Untuk mencari siapa sebenarnya yang lebih berhak untuk menjadi Sultan Palembang sebagai penerus Sultan-sultan Kesultanan Palembang Darussalam tentulah harus melihat Garis Nasab dan Silsilahnya Serta bukti-bukti lain yang mendukungnya atau setidaknya mana diantara keduanya yang lebih mendekati. Untuk itu perlu pemahaman terlebih dahulu tentang Silsilah dan Nasab. Silsilah berasal dari kata/bahasa arab, yang bisa diartikan “Hubungan yang berkesinambungan” atau mata rantai dalam pertalian keluarga. Sedangkan yang dimaksud Nasab adalah Keturunan langsung berdasarkan Hubungan Darah. Jadi Nasab dan Silsilah itu suatu definisi yang berbeda namun erat kaitannya, meskipun demikian banyak terjadi kesalahan dalam penafsiran antara silsilah dan Nasab.
Perbedaan definisi itu sangat jelas apabila kita merujuk pada suatu hadist nabi Muhammad SAW yang berbunyi Kullu Bani Adam Yantamuuna ila Asobatin illa waladun Fatimatin Fa’ ana Waliyuhum wa ‘ana Asobatuhum (HR. Thobroni Muslim dan Abu Ya’ala). Yang artinya : Semua Bani Adam (Manusia) mempunyai ikatan Nasab Ayahnya kecuali anak-anak Fatimah, akulah walinya (Ayahnya) dan Akulah asobah (ikatan Keturunan) mereka. Menyikapi hadist Nabi ini jangan sampai kita masih terjebak dengan definisi Nasab dan Silsilah yang keliru.
Pada dasarnya kita sebagai manusia tentu mempunya garis nasab keatas yaitu Ayah, Kakek, Buyut, Piyut dan seterusnya. namun seringkali kita tidak mengetahui atau memiliki silsilah yang jelas. Hal ini terjadi karena kelalaian, dan kebodohan kita sendiri yang tidak meneruskan Tradisi leluhur kita yang sejak dulu selalu membuat Silsilah keluarga agar dikemudian hari anak cucu kita mengetahu garis Nasab dan silsliah keluarganya jangan sampai ketika mengaku sesama wong Palembang tapi ketika ditanya Nasab dan silsilahnya tidak tau jangankan untuk menguraikan 7 turunan keatas mungkin menyebut 4 keturunan keatas saja kita sudah kebingungan, coba tanyakan pada diri kita masing-masing.
Hai Inilah yang menyebabkan terjadinya Dualisme Kesultanan Palembang Darussalam seharusnya jika kita tidak tahu dengan jelas garis Nasab dan Silsilah hendaknya kita mencari tahu terlebih dahulu, kemudian dicocokan dan akan diketahui siapa sebenarnya yang lebih cocok untuk menjadi sultan paling tidak mendekati kebenaran. Jangan dibuat seolah-olah benar, jika ini terjadi maka kita akan merusak sejarah dan keluarga kita sendiri hasil akhirnya permusuhan dan perpechan. contoh yang lain, ketika saya berkunjung ke Museum SMB II (Dinas Pariwisata Kota Palembang) saya sangat-sangat terkejut karena disana ada dua Silsilah Kesultanan Palembang yang berbeda. Silsilah pertama dibuat oleh Djohan Hanafiah (Budayawan) dan yang satunya lagi dibuat oleh R.M. Husin Natodiradjo, kedua silsilah ini menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan, kenapa ini bisa terjadi?.
Jika kita memperhatikan dengan cermat dan teliti, maka akan Ada dua penapsiran yang berbeda seharusnya ini tidak perlu terjadi. Di bagian Jero (dalam) merujuk kepada Raden Paku atau Sunan Giri hingga ke Nabi Muhammad SAW. Sedangkan yang dibagian luan (luar) merujuk ke Raden Fatah hingga ke Nabi Muhammad SAW. Begitu juga didalam beberapa buku sejarah Kesultanan Palembang Darussalam masing-masing membuat silsilah yang berbeda misalnya buku M. Ali Amin dalam buku KHO Gadjahnata akan berbeda silsilahnya dengan buku yang dibuat oleh Kiagus Mas’ud dan pengarang yang lain, kenapa ini bisa terjadi? Jangan-jangan ada yang membelokan sejarah. Itulah sebabnya saya melihat Dualisme Sultan ini muncul kepermukaan karena ada yang membelokkan sejarah untuk mendapatkan Legitimasi dan legalisasi. Palembang dengan sejarahnya yang panjang memang sangat menarik untuk kembali diteliti atau dikaji ibarat mutiara yang hilang (terpendam), Para Sejarawan/Budayawan/Agamawan/ dan Arkeolog hingga pekerja senipun tertarik untuk ikut mengkajinya.
Memang tidak menjadi masalah bukankah sejarah itu sesuatu yang universal (umum) tapi jangan dibelok-belokan, kalo boleh mengutip Istilah yang disampaikan Saudi Berlian dalam makalahnya tentang Legitimasi Sosial bahwa dalam sejarah manusia akan ada yang tetap berjalan lurus meskipun jalannya tidak lurus, sebalikanya akan ada yang berjalan tidak lurus meskipun jalanya lurus, bukankah ini sebuah ironi? Inilah kenyataan meskipun kita selalu berdo’a kepada sang pencipta untuk ditunjukkan jalan yang lurus “...Ya Allah tunjukkan aku jalan yang lurus, jalan yang engkau ridhoi.....”dst. tentu akan ada saja orang-orang dibalik layar yang sengaja membelokkan sejarah, biasanya orang ini termasuk orang yang suka “SMS” yaitu Susah Melihat orang Senang dan Senang Melihat orang Susah. Mudah-mudahan kita dihindari dari sifat ini.
Dengan kehadiran atau munculnya dualisme Kesultanan, yang mengundang banyak perdebatan sebaiknya diselesaikan dengancara baik dan musyawarah janganlah terlalu menurutkan hawa nafsu hingga membuat kebingungan banyak orang mulai dari kalangan atas hingga orang-orang awam turut bingung seperti kata Ahmad Bastari Suan dalam judul makalahnya sebaiknya “Satu Palembang satu Sultan” agar kita terhindar dari Adu Domba (Devide at Impera) orang/kelompok lain yang memang ingin memecah belah persatuan kita selaku wong Palembang, sadarkah engkau saudaraku?.
Dalam menyikapin hal ini tidak hanya sejarahwan/budayawan saja yang harus berperan aktif namun diharapkan peranan aktif dari berbagai pihak yang dianggap mampu untuk dapat menyelesaikan permasalahan ini misalnya pemerintah serta tokoh-tokoh Ulama dan Habaib, bukankah sejak dulu para Ulama dan Habaib selalu menjadi guru sekaligus Penasehat Sultan bahkan ada yang dijadikan Menantu! kenapa sekarang para ulama dan Habaib diam saja?, saya pun menjadi bingung. Apakah semua ini disebabkan oleh ketidak tahuan? atau memang tidik peduli?, mungkin juga sengaja dibiarkan dengan alasan ini kan bukan urusan saya! Mengutip Ungkapan dari Mantan Presiden kita “Gusdur”. “Gitu aja kok repot..”!!
Melihat dari dekat sejarah panjang dari Sejarah KPD sejak awal berdirinya, dasar yang dijadikan rujukkan adalah hukum Islam meskipun tidak dijalankan seratus persen, namun tetap berusaha untuk tidak menyimpang jauh dari Syariat Islam. Bila berdirinya Demak tidak terlepas dari peran Wali songo di Pulau Jawa dan yang menjadi Mufti para wali pemimpin umat pada waktu itu adalah Raden Rahmat atau Sunan Ampel. Begitu juga dengan KPD tanpa diprakarsai peran Ulama dan Habaib rasanya sulit untuk mendapatkan Legitimasi dan Legalisasi umat (wong Palembang).
Dikarenakan didalam diri pribadi seorang Sultan harus mempunyai sifat-sifat Nabi yaitu Fatonah, Amanat, Siddik, dan Tabligh bukankah dalam diri sultan itu sendiri memang sosok yang agamawan sebagai panutan umat hal ini terbukti dengan gelar sultan Abdurrahman yang bergelar Kholifatul Mukminin Sayidul Imam Ia pun sebagai pendiri Kesultanan dan pemberlakuan Islam sebagai agama negara (Kesultanan). Jadi peran Ulama serta Habaib sangat diperlukan apalagi dengan munculnya Dualisme Sultan. Garis Nasab dan Silsilah harus dijadikan rujukan utama, mau tidak mau Ulama dan Habaib merupakan faktor penting yang bisa menetralisir keadaan, jangan sampai konflik ini terus berkepanjangan. Libatkan semua komponen bila dirasakan perlu!.
Timbul pertanyaan Mengapa harus ulama/Habaib? Jawabnya Ulama dan Habaib mempunyai pertanggung jawababan ganda: 1. Sebagai orang Islam Ulama dan Habaib serta kita semua, berkewajiban untuk menegakkan Syarait Islam 2. sebagai keturunan nabi Muhammad SAW. Adalah kaum yang memiliki eksistensi dalam soal nasab serta silsilah. Jangan sampai para Ulama dan Habaib semakin ditinggalkan oleh umat atas ketidak peduliannya tidak responsif terhadap permasalahan yang ada.
Sebagai renungan dalam catatan sejarah bahwa bahwa Sultan M. Mansyur berkata dengan bijak dan sangat jelas ketika melihat akan terjadinya dualisme kesultanan, terlihat sikapnya sebagai seorang Sultan beliau menyatakan dengan kalimat bahwa....”Adiknyalah yang pantas untuk meneruskan trah kesultanan”, namun apabila melihat putranya yang memiliki karisma beliau juga menyatakan bahwa “Putranya lebih pantas dan berhak untuk melanjutkan kesultanan”. Akhir dari kejadian ini maka SMB I dapat membuktikan bahwa memang dirinya mampu untuk mempersatukan KPD dalam satu pemerintahan.
Dilihat dari peristiwa tersebut diatas mungkinkah dijaman reformasi ini bisa dijadikan landasan untuk menjadikan Palembang yang satu dalam membangun Pemerintahan, agama, adat istiadat, serta budaya Palembang yang hampir punah seiring perjalanan waktu. Tentu jawabannya seperti yang telah saya tulis diatas membutuhkan semua peranan dari berbagai pihak termasuk Ulama dan Umaro serta Sejarahwa, maupun Budayawan. Karena urusan Dualisme Sultan bukan hanya urusan keluarga semata tetapi menjadi urusan dan bagian kita semua sebagai Wong Palembang. Apalagi SMB II telah menjadi Pahlawan Nasional tentu ini menjadi bagian dari bangsa Indonesia yang tidak bisa dipisahkan. sebagaimana Jogjakarta, dan Palembang tanpa Sultan ibarat negeri yang tak bertuan. Bukankah kita sepakat ingin menjadi negeri ini sebagai tempat yang aman dan tenteram seperti nama Kerajaan kita Palembang Darussalam “Palembang Negeri yang Aman”, semoga!!!